Tinta Sanguinis

"A Black Notch In A White Paper"

Tinta Sanguinis is a title that I built themselves a glimpse of my mind, about a preference for a written, which apart from a word into a sentence that I gave the breath through the right brain with a glimmer of imagination. but my real name is Arrie Afrian.

4.12.2012

KOPI HITAM


Penyesalan memang tak akan datang pada prolog suatu plot kehidupan. Penyesalan datang pada saat cerita itu berakhir. Entah bahagia ataukah tidak. Kadang hidup ini, tak semanis gula dan madu. Hidup dapat pula sepahit kopi hitam yang akan semakin pahit bila menyentuh pangkal lidah kehidupan kita. Kopi hitam yang akan selalu diaduk sehingga membuat kehidupan ini selalu berputar dinamis.


Baru sebulan, aku tinggal di rumah tua berdinding batu bata merah yang lapuk ini. Tetapi, masih belum bisa kulupakan sejuta kenangan pahit yang telah digoreskan di dalam laranya hatiku. Kuseduh secangkir kopi pahit untuk lebih menyelami kelamnya hariku dulu, kuaduk beberapa kali. Lalu, kubuka beberapa bungkus gula dan kucampur kedalam kopi hitam panas tadi. Kuseruput sedikit. Mataku sedikit menciut menahan getirnya kopi itu.


Kudalami kopi panas dalam cangkir yang pahit itu, aku berfikir. Ternyata, sama pahitnya dengan kehidupanku. Berpuluh-puluh kilometer jauhnya, di kota seberang laut. Banyuwangi. Yah, tersimpan indahnya masa kecil yang begitu bahagia. Tertata rapih di atas peningnya kepalaku, sebuah plot kecil yang membuat bibirku tersenyum dalam kepahitan. Sebuah drama pendek tentang keluarga mungil yang tinggal dipinggiran laut. Laut itu begitu bening sehingga bebek buruk rupa jika berkaca diatasnya pun akan terlihat cantik bak angsa berbulu putih.


Cerita bahagiaku, tentang ayah. Ayah yang selalu membopong jala disetiap tengah malam. Tentang Ibu yang selalu kucium daster merah bermotif burungnya yang selalu berbau bumbu dapur sedap. Tentang adik yang hingga kini tak pernah kulihat wajah mungilnya, gelak tawa yang kala itu kutunggu selama sembilan bulan. Pupus. Melayang terbawa bekunya angin laut, hilang tersapu gulungan tenang ombak di tepi pantai. Tentang aku, yang selalu termangu di atas batang kayu di tepi pantai. Tentang aku, yang setiap sore melangkah sendiri sambil menendang-nendang pasir yang selalu tampak putih. Sekali lagi, tentang aku yang berlari pulang ke rumah ketika mencium bau masakan Ibu yang khas.


Di suatu senja, seperti biasa, aku termangu, menatap burung camar bermanuver rendah di atas laut. Melihat ikan terbang yang melompat-lompat indah melewati ombak lautan yang berwarna oranye dibiaskan mentari sore. Kala itu, angin bertiup begitu dingin. Tulangku serasa tertusuk-tusuk kristal air beku. Aku menunggu kedatangan Ayah dari seberang lautan. Biasanya aku melompat kegirangan jika ayah datang membawa sekeranjang besar ikan. Aku selalu memilih satu diantaranya untuk kupelihara. Tetapi, kali ini berbeda. Seakan dinginnya angin mengisyaratkan sesuatu. Sesuatu yang buruk. Diatas kepalaku beterbangan burung gagak hitam yang bersenandung pilu. Lembaran daun kelapa yang bergoyang bersama angin, melantunkan simfoni getir yang menambah berbedanya senja itu.


Sudah berpuluh-puluh kapal feri yang lalu lalang, tetapi ayah tak kunjung pulang. Matahari pun sudah merasa lelah menyinari tanah kelahiranku itu. Kini berganti redupnya rembulan, putih-putih sinar remangnya membulatkan keatidak-biasaan malam itu. Ayah tak kunjung tiba. Bau masakan Ibu telah menyeruak hidungku yang kecil dan memaksaku untuk segera melahapnya. Tetapi tetap kutahan. Dibalik lautan yang mengharu biru, kulihat sebongkah kayu. Wajahku yang murung berangsur berubah seringai. Tetapi hanya sesaat, ketika bilah kayu tak berpenghuni. Bukan ayah, bukan siapapun. Senada dengan tenangnya ombak yang melagu pilu, kutinggalkan pantai pasir putihku. Sejak saat itu, tak pernah ada seorang lelaki paruh baya yang kembali dengan senyum lebar membawa berpuluh-puluh ikan. Tak akan ada lagi seseorang yang memelukku erat di atas dipan bambu depan rumah. Sirna sudah bau badan khas milik Ayah yang selalu kucium ketika aku merindukan dekap eratnya. Sejak saat itu, ia semu. Ia hanya muncu terkadang di tidur malamku yang lelap. Ia tak pernah lagi menyambangiku bersama Ibu.


Sejak Ayah hilang, Ibu seringkali mengikutiku termenung ditepi pantai, dengan pandangan kosong menatap ke laut oranye. Saat umurku mencapai lima belas, Ibu semakin renta. Ibu semakin berjalan membungkuk. Kini ia memakai tongkat. Tongkat kayu yang pernah kubuatkan. “Ibuku, masih sangat membekas belai tangan Ibu yang mulai keriput,” ku katakan itu di suatu senja hangat saat aku dan Ibu mematung berdua di tepi pantai. Ibu memandangku lekat, matanya yang mulai berkandung tebal menatapku. Kubalas menatap. Matanya nanar, oranye seperti laut senja. “Ibu ingin memelukmu, Nak.” pinta Ibu sambil terisak. Aku hanya mengangguk dan melangkah mendekatinya. Pelukan itu terasa begitu dalam, serasa tersimpan beribu kalimat yang tak bisa terucap. Yang dapat kurasa, hanyalah tetes demi tetes air mata Ibu yang jatuh di punggungku.


Esoknya, tak seperti biasa, Ibu tidak berada di dapur. Ibu tertidur di kamar sambil menghadap dinding rumah sesek kami. Kupandangi dan kusentuh kulit tua Ibu. Terasa begitu dingin, pucat bahkan terlalu pucat. Kusibakkan kerudung merah mudanya. “Ibu tertidur,” kataku. Kutunggu bangunnya Ibu. Hanya duduk di kursi di dekat ranjang Ibu. Berjam-jam, Ibu tak pernah mau bangun. Ia nyenyak tidur dan tak pernah akan bangun. Ia tertidur bersama Ayah yang entah kemana. Mungkin Ayah juga. Tertidur di mana, entah.


Kuseruput kembali kopi pahit di tangan. Kuselaraskan rasa pahit kopi hitam ini dengan liku hidup yang kutempuh. Selalu getir, berakhir getir tanpa ada sedikitpun cahaya. Cahaya yang menerangi Aku, Aku yang mengungkit ketidakadilan Tuhan. Aku yang buta, aku yang pasrah bak burung tak bersayap yang bertengger di dahan yang rapuh. Bimbang, hanya ada satu pilihan terjatuh dan mati.


Untuk yang terakhir, kurasa ampas kopi menempel di bibir atasku. Tak sempat kuhapus ketika dada ini seperti diremukkan. Aku berjalan menuju kamar. Langkah demi langkahku yang kini sudah tak setangkas dulu. Tongkat besi berkarat di tangan yang setia. Setia ada di hari senjaku.


Kubaringkan tubuh rentaku di atas kasur keras. Dengan bantal kapuk yang berbau seperti keringat Ayah. Bau yang selalu kucium ketika aku merindukan Ayah. Dadaku semakin sesak, semakin sulit bernafas. Pandanganku perlahan-lahan nanar, kulihat samar-samar sosok Ayah dan Ibu yang duduk bersila di pojok ranjangku. Mereka tersenyum simpul sambil menarik tanganku. Terasa ringan.


“Ibu, Ayah ajak aku bersama kalian. Agar aku tak kesepian.”


Kemudian semuanya terlihat buram, semakin buram dan akhirnya gelap. Gelap gulita.

(Oleh: Andaka Rizki Pramadya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar